Arti pepatah ini merindukan sesuatu
yang mustahil untuk diraih. Arti dari pungguk sendiri yaitu: Sejenis burung
hantu. atau ada yang mengatakan pungguk yaitu: sejenis burung yang suka hinggap
di pohon yang tinggi dan bernyanyi pada malam hari, terutama pada bulan
purnama. Konon, pada malam terang bulan itu, burung pungguk itu sangat
merindukan Putri Bulan. Ia mengalami patah hati karena cintanya tak sampai.
kisah dari pepatah ini adalah sbb,
kisah ini diambil dari forum detik.com.
Zaman dahulu di bulan terdapat
sebuah taman yang amat indah. Di taman itu tumbuh pohon-pohonan hijau yang
dihuni oleh berbagai macam burung. Di tengah-tengahnya ada sebuah kolam yang
berlumpur. Dari dalam kolam itu menyembul berjenis-jenis bunga teratai. Di
sekeliling pagar kolam itu bermekaran bunga-bungaan aneka warna. Keindahannya
sungguh menawan setiap gadis dan pemuda yang lewat.
Suatu sore, menjelang matahari
tenggelam, seorang gadis cantik berjalan-jalan di taman itu. Nama gadis itu
Putri Bulan. Ia diiringi beberapa gadis dayang-dayang antara lain Awan dan
Mega. Dari pohon-pohon terdengar nyanyian burung yang bersahut-sahutan,
seolah-olah mengiringi perjalanan putri itu. Burung-burung besar sepeti Garuda,
Rajawali dan Gandasuli, bertugas mengawasi kalau-kalau ada pemuda iseng yang
mengganggu putri itu.
Ada seorang pemuda tampan, namanya
Si Pungguk. Ia juga ingin menikmati keindahan taman itu. Dilihatnya Putri Bulan
yang cantik itu memetik beberapa kuntum bunga. Ketika mata pemuda itu
bertatapan dengan Putri Bulan, seketika pemuda itu jatuh cinta. Demikian pula
Putri Bulan. Ia sangat terpesona melihat ketampanan pemuda itu.
Burung Garuda yang sejak tadi
mengawasi gerak-gerik pemuda itu, tiba-tiba hinggap di depannya. “Hai,
Pungguk!” bentaknya. “Jangan coba-coba mendekati Putri Bulan! Kau rakyat
jelata! Ayo pergi jauh!” katanya sambil mengepakkan sayapnya lebar-lebar.
Sebelum pergi Si Pungguk membuang
pandang sekali lagi kepada Putri Bulan. Putri Bulan pun membalasnya dengan
senyum. Sesungguhnya gadis cantik itu sangat kecewa melihat tindakan Garuda
yang tidak santun itu. Apa boleh buat! Pemuda tampan itu harus meninggalkan
tempat itu dengan hati yang tergores.
Sebuah bintang yang melihat kejadian
itu sangat kasihan kepada Si Pungguk. Bintang itu mendekat. “Kasihan kau
Pungguk!” katanya. “Percuma kau mencintai Putri Bulan. Ia gadis bangsawan,
sedangkan kau orang kebanyakan. Sebaiknya kau pergi ke puncak gunung. Berdoalah
di sana dan lupakanlah segalanya!”
Namun pemuda tampan itu tidak mau
menyerah. Ia tidak bisa melupakan pandangan pertama gadis cantik itu. Demikian
pula Putri Bulan. Sejak kejadian itu, gadis bangsawan itu sangat rajin pergi ke
taman. Ia berpesan kepada Awan dan Mega, agar memberi kesempatan kepada pemuda
itu untuk menjumpainya.
“Aku cinta padamu!” demikian kata
pemuda itu dalam sebuah kesempatan.
“Aku pun mencintaimu,” jawab Putri
Bulan. “Tapi sayang, ayahku telah menjodohkanku dengan pemuda lain. Sekarang
cepatlah pergi! Banyak burung yang mencurigai pertemuan kita.”
“Jadi putri bangsawan itu
mencintaiku. Aku tidak bertepuk sebelah tangan,” demikian bisik hati Si
Pungguk. Sesaat ia merasa senang, tetapi kemudian ia bersedih. Apa maksud
kata-kata Putri Bulan yang terakhir itu? Bukankah hal itu berarti sang kekasih
akan menjadi milik orang lain? Demikian pertanyaan yang muncul di benaknya.
“Makanya, ikutilah nasihat si
Bintang,” kata burung merpati yang hinggap di sebelahnya. “Cintamu sia-sia
saja! Janganlah bersedih, lupakanlah semuanya dengan berdoa di puncak
gunung!”
Siang-malam Si Pungguk merenung.
Tidak mudah menyembuhkan hati yang terluka. Kadang-kadang ia menyesali diri,
mengapa ia lahir sebagai orang kebanyakan. Ah, tidak! Ia akan mencoba mengikuti
nasihat si Bintang dan si Merpati. Ia pergi ke puncak gunung. Di sana ia
merenung dan berdoa selama empat puluh hari.
PUTRI Bulan menyadari
bahwa jawabannya pasti mengecewakan si Pungguk. Ia juga tidak dapat melupakan
pemuda tampan itu. Cintanya tetap bergelora. Sebagai tanda cinta yang murni, ia
ingin menyampaikan sebuah kenang-kenangan. Tetapi setiap ke taman, gadis
bangsawan itu tidak pernah berjumpa dengan pemuda idamannya.
---
Ia
bertanya kepada Awan, Mega, dan Garuda, apakah yang terjadi atas pemuda
idamannya itu. Barulah setelah genap empat puluh hari, burung Cendrawasih
menyampaikan berita kepada Putri Bulan. "Tuan Putri!" katanya.
"Si Pungguk berdoa di puncak gunung. Sekarang ia mengakhiri doanya dan
akan datang ke taman ini."
Maka
terjadilah pertemuan yang mengesankan itu. Putri Bulan sekali lagi menyatakan
cintanya. Ia mengikatkan selembar kain kudung di leher si Pungguk. Si Pungguk
membalasnya dengan pelukan mesra.
Plak!
Tiba-tiba burung Garuda menyerang Si Pungguk. Pemuda itu jatuh, kepalanya
berdarah. Ia bangkit lalu menghunus pedang. Belum sempat membalas, burung
Rajawali memukulnya bertubi-tubi dari belakang. Si Pungguk terhuyung-huyung tak
berdaya. Burung Gandasuli lalu mendorongnya keras-keras. Pemuda tampan itu
jatuh ke dalam kolam lumpur. Badannya berlepotan, nafasnya terengah-engah. Ia
berusaha bangkit, tetapi ketiga burung besar itu menghadangnya. Akhirnya si
Pungguk mati tenggelam.
Putri
Bulan yang menyaksikan kejadian itu menangis. Demikian pula Awan dan Mega.
Mereka tak kuasa menghadang tindakan burung-burung yang kejam itu. Tak lama
berselang, gadis yang patah hati itu ingin melihat jazad si Pungguk. Aneh,
jazad yang membusuk itu telah berubah menjadi seonggok jamur. Jamur itu
bergerak perlahan-lahan, berdiri, menggeliat, lalu berubah menjadi seekor
burung. Burung itu berusaha mendekati Putri Bulan, tetapi tak kuasa. Ia
terbang, terbang, lalu jatuh di bumi.
Nah,
itulah si Pungguk, pemuda patah hati yang telah menjadi burung. Konon sampai
sekarang pun burung itu masih merindukan kekasihnya. Setiap malam terang bulan
ia hinggap di pohon yang tinggi. Ia berharap curahan cintanya dapat didengar
oleh Putri Bulan. "Pung guk, pung guk!" katanya berulang-ulang.
***
Jadi,
hubungan cinta antara si Pungguk dan Putri Bulan adalah cinta-menyintai. Gayung
bersambut, dan bukan bertepuk sebelah tangan. Karena sistem lapisan masyarakat
yang tertutup (tradisional), jalinan cinta itu menjadi kasih tak sampai; dengan
kata lain tidak sampai ke ujung pelaminan. Pasangan itu harus berpisah
selama-lamanya. Cinta murni tak kuasa menembus tembok tebal feodalisme.
Sekarang
tembok tebal itu tidak hanya tersusun dari bahan feodalisme, tetapi juga dari
sistem kebangsaan, kepercayaan, ekonomi, adat istiadat, kebudayaan, dll. Betapa
sulitnya cinta murni itu menembus sekat-sekat yang kaku itu. Diperlukan waktu
yang panjang, prosedur yang rumit, sosialisasi yang melelahkan. Cobalah teliti
berapa korban cinta yang terjadi karena tembok tebal bikinan manusia itu.
Timbul
dalih, benarkah ada cinta murni? Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang
tua zaman dulu; cinta tumbuh setelah naik ke pelaminan. Putri Bulan tak perlu
mengangan-angankan bertemu dengan Si Pungguk, sebab orangtuanya sudah
memilihkan pasangan yang "ideal". Jalinan cinta akan tumbuh dengan
sendirinya setelah pasangan yang "ideal" itu bertemu dalam mahligai
perkawinan. Tinggal si Pungguk yang selalu mencurahkan isi hatinya kepada Putri
Bulan, padahal putri yang cantik itu belum tentu mau mendengarkannya.
Kalau
demikian, perkawinan yang terjadi dalam batas-batas tembok yang tebal itu
hanyalah dongeng belaka. Itu pun secara samar-samar diarahkan bahwa tembok
tebal itu sesungguhnya tidak ada. Cinderella yang cantik bukan gadis
kebanyakan, tetapi putri bangsawan yang diperlakukan buruk oleh ibu tirinya.
Sang Kodok yang kawin dengan putri raja, sebetulnya bukan kodok sungguhan
tetapi penjelmaan pangeran.
Jalinan
cinta yang berakhir dengan perkawinan seperti kisah Cinderella atau Pangeran
Kodok itu, dapat dilihat dari dua segi. Pertama, untuk mewujudkan perkawinan
itu, seseorang harus melakukan perjuangan, dan kedua, dongeng itu sendiri sudah
melakukan perlawanan sehingga sekat-sekat yang membatasi harkat kemanusiaan itu
tak ada sama sekali.
Bagaimana
kenyataannya? Sudah tercapaikah keinginan dongeng "Cinderella",
"Pangeran Kodok" dan "Si Pungguk Rindukan Bulan"?
Diambil dari berbagai sumber.